UU Kesehatan: Pengecualian Aborsi

Aborsi diperbolehkan untuk dilakukan di Indonesia dengan beberapa persyaratan, mulai dari alasan, usia kehamilan, juga persetujuan dari beberapa pihak.

Aborsi diatur dalam Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (UU Kesehatan). Aborsi boleh dilakukan di Indonesia dengan pengecualian. Dalam Pasal 75 disebutkan pengecualian yang dimaksud dalam menggugurkan kandungan adalah terjadi indikasi kedaruratan medis dan kehamilan akibat perkosaan.

 

Konseling dan Persetujuan

Perempuan perlu melalui konseling dan/atas penasehatan sebelum dan sesudah tindakan. Konseling harus dilakukan oleh konselor yang kompeten dan berwenang.

Pengecualian tersebut bukan tanpa syarat, seperti yang disebutkan dalam Pasal 76. Misalnya, tindakan aborsi harus mendapat persetujuan perempuan hamil. Selain itu, perempuan harus mendapatkan izin dari suami, kecuali penyintas perkosaan. Artinya, aborsi untuk kasus indikasi kedaruratan medis hanya diperuntukkan bagi perempuan yang sudah menikah. Ini sudah meminggirkan perempuan yang tidak menikah. Belum lagi, perempuan dengan suami yang tidak bisa dan/atau tidak mau memberikan izinnya. Sistem masih meletakkan keputusan perempuan akan tubuhnya kepada orang lain.

 

Usia Kehamilan

Lama kehamilan juga menjadi persyaratan tindakan aborsi. Aborsi hanya dikecualikan pada perempuan dengan kehamilan 6 minggu yang dihitung dari hari pertama menstruasi terakhir. Peraturan ini jelas tidak mempertimbangkan minimnya pendidikan kesehatan seksualitas dan reproduksi di Indonesia. Banyak perempuan tidak tahu-menahu tentang kehamilannya. Ketika menyadari kehamilannya, usia kehamilan sudah melebihi batas waktu. Belum lagi korban perkosaan yang masih harus menghadapi masa trauma.

 

Penyedia Layanan Aborsi

Selain itu, aborsi harus dilakukan oleh tenaga kesehatan yang memiliki keterampilan dan kewenangan dengan sertifikat yang ditetapkan menteri. Aborsi juga bisa dilakukan oleh penyedia layanan kesehatan yang memenuhi syarat yang ditetapkan oleh Menteri

Syarat tersebut perlu dipertanyakan lagi ketika perempuan berada di daerah yang tidak bisa mengakses layanan kesehatan. Pun bisa, bagaimana kalau tidak ada tenaga kesehatan yang bersertifikat di daerah itu? Apakah artinya perempuan tidak bisa melakukan aborsi walaupun kehamilannya bisa mengancam nyawanya? Walaupun ia merupakan penyintas perkosaan?

UU Kesehatan mengamanatkan adanya Peraturan Pemerintah untuk ketentuan lebih lanjut.