Akses terhadap obat aborsi merupakan hak asasi manusia

Badan Kesehatan Dunia (World Health Organization-WHO) memasukkan obat-obatan aborsi, Mifepristone dan Misoprostol, sebagai obat-obatan esensial sejak 2005

Badan Kesehatan Dunia (World Health Organization-WHO) memasukkan obat-obatan aborsi, Mifepristone dan Misoprostol, sebagai obat-obatan esensial sejak 2005.1

Akses terhadap obat-obatan esensial merupakan bagian dari hak terhadap standar pencapaian hak kesehatan tertinggi (“hak untuk sehat”) yang didasari berbagai perjanjian hak asasi manusia internasional, seperti:

  • The Universal Declaration of Human Rights: Article 25.1 pada 1948;
  • The International Convention on the Elimination of All Forms of Racial Discrimination; Article 5 (e) (iv) pada 1965;
  • The International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights: Article 12.1 pada 1966;
  • The Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination against Women; Articles 11 (1) (f), 12 and 14 (2) (b) pada 1979;
  • The 1989 Convention on the Rights of the Child; Article 24;
  • The International Convention on the Protection of the Rights of All Migrant Workers and Members of Their Families; Articles 28, 43 (e) and 45 (c) pada 1990;
  • The Convention on the Rights of Persons with Disabilities: Article 25 pada 2006. Dalam General Comment 14 (2000) kemudian menyebutkan prinsip kemudahan mengakses, ketersediaan, kelayakan, dan penjaminan kualitas barang dan layanan, yang menyertakan obat-obatan esensial “seperti yang sudah dijelaskan WHO Action Program on Essential Drugs.”2

Pada Oktober 2011, Anand Grover, Special Rapporteur untuk Hak terhadap Kesehatan dari PBB, menuliskan dalam laporannya, “KUHP yang menghukum dan membatasi aborsi yang diinduksi merupakan contoh paradigmatis dalam menghalang-halangi hak perempuan untuk memperoleh kesehatan yang tidak boleh dibiarkan dan perlu dihapuskan. Hukum ini menodai martabat dan otonomi perempuan dengan memangkas tajam pengambilan keputusan perempuan yang malah seharusnya dihormati kesehatan seksual dan reproduksinya.”3

Pada General comment No. 22 (2016) terkait hak kesehatan reproduksi dan seksualitas (Pasal 12 dalam International Covenant on Economic, Social and Cutural Rights) menyebutkan bahwa, “Obat-obatan esensial harus tersedia, termasuk segala macam pilihan metode kontrasepsi, seperti kondom dan kontrasepsi darurat, obat-obatan aborsi dan perawatan pascaaborsi, dan obat-obatan, termasuk obat-obatan generik, untuk mencegah dan mengibati infeksi menular seksual dan HIV.”4

Badan Kesehatan Dunia (WHO) mendefenisikan kesehatan sebagian, “Kesehatan merupakan keadaan fisik, mental, dan situasi sosial yang komplit atau menyeluruh, dan bukan hanya berarti ketiadaan penyakit atau kelemahan.”5

Pada 30 Oktober 2018, Komisi Hak Asasi Manusia menuliskan dalam General comment No. 36 (2018) dalam Pasal 6 International Covenant on Civil and Political Rights terkait hak untuk hidup:

”Negara tidak seharusnya menghadirkan kendala baru dan seharusnya menghapuskan kendala yang sudah ada yang bisa menyangkal akses perempuan dan remaja perempuan terhadap aborsi aman dan legal yang efektif, termasuk kendala yang disebabkan oleh keberatan personal dari pemberi layanan kesehatan. Negara seharusnya memberikan perlindungan yang efektif terhadap perempuan dan remaja perempuan untuk melawan risiko kesehatan fisik dan mental yang terkait dengan aborsi tidak aman.”

[1] http://apps.who.int/iris/bitstream/10665/93142/1/EML_18_eng.pdf

[2] http://www.who.int/medicines/areas/human_rights/en/

[3] https://www.un.org/press/en/2011/gashc4018.doc.htm

[4] http://www.ohchr.org/EN/NewsEvents/Pages/DisplayNews.aspx?NewsID=17168&LangID=E#sthash.MfGe1y5D.XSS87v3P.dpufh

[5] http://apps.who.int/gb/bd/PDF/bd47/EN/constitution-en.pdf?ua=1